Helvry Sinaga

TUGAS KEMANUSIAAN
Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy


Manusia adalah fenomena ajaib. Jika keajaiban itu dieksplorasi maksimal, akan tercipta apa yang dikategori sebagai mukjizat. Namun, meski semua manusia memiliki potensi sama, hanya sedikit yang menyadarinya. Sebagian besar lainnya menyerah di sandaran ”nasib”.

Satu dari sangat sedikit orang yang menyadari potensi dan keajaiban itu adalah budayawan Radhar Panca Dahana (47). Dengan 20 penyakit permanen stadium akut yang muncul setelah cuci darah tiga kali seminggu, 11 tahun terakhir, Radhar terus berkarya. Ia bahkan sangat produktif di puncak-puncak kesakitannya.

”Setiap hari, enam dari 20 penyakit itu, gejalanya keluar,” ujar Radhar. Seluruh bagian tubuh diganggu oleh kehadiran penyakit ikutan itu, termasuk panca indranya. ”Kalau saya diam, sebagian keluar. Begitu keluar, saya tahu metabolisme saya akan bekerja dengan cara yang berbeda. Jadi, saya tak bisa membiarkan diri saya tidak aktif karena metabolismenya pun akan menyusut.”


Radhar ditemui di rumahnya yang asri di wilayah Tangerang Selatan. Halaman depan berukuran 4 meter x 5 meter itu dirimbuni pohon mangga yang buahnya rapat bergelantung, jambu air, jambu batu, rambutan, nangka, dan tanaman daun, seperti palem. Rumah itulah tempat pulang yang paling nyaman setelah kunjungan yang makin sering ke rumah sakit.

Optimal, maksimal

Meski tak jarang berangkat cuci darah tanpa uang, ia selalu punya peluang untuk tetap hidup. Entah dari mana, selalu ada tawaran membayari biayanya. ”Alhamdulillah, selama 11 tahun, itu yang terus terjadi,” katanya.

Barangkali begitulah hukum Semesta berlaku. Di kalangan teman, bahkan yang bukan teman sekalipun, Radhar dikenal pemurah. ”Kalau di tabungan masih ada uang lebih yang bisa saya gunakan, itu berarti melebihi cukup.”

Tak hanya CRF (kegagalan ginjal kronis) dan ARF (kegagalan ginjal akut) beserta semua penyakit ikutannya, seperti tumor, hepatitis, fistula, yang berpotensi melumpuhkannya. Ia mengaku, ”Sebenarnya saya lolos berkali-kali (dari kematian). Yang paling parah waktu tabrakan di jalan tol. Saya tertidur waktu menyetir....”

Tabrakan itu membuatnya terjepit setir mobil sampai harus dilepaskan dengan gergaji listrik. Akan tetapi, ia selamat, hanya luka kecil di dahi karena terantuk kemudi. Mobilnya hancur.

Begitu seringnya berada di garis-garis batas itu, ia menjadi akrab suasananya. Seperti dikatakannya, ”Kematian adalah suatu hal yang pasti dan natural, berarti biasa, sebagaimana napas, buang air, penyakit, juga hidup itu sendiri.”

Ia melanjutkan, ”Saya setuju dengan banyak pendapat, dari Plato hingga para nabi, bahkan para tokoh pagan, bahwa kematian adalah episode, halte di mana kita bersiap untuk perjalanan berikut dalam realitas yang berbeda. Setidaknya ia (kematian) menjadi penanda bagi selesainya tugas-tugas keduniaan, peluang di mana manusia bisa meraih kenyataan lebih tinggi. Sungguh merugi jika kita merusak, bahkan menutup, peluang yang tersedia dalam kematian.”

Setiap hari, Radhar berlatih untuk ”mudik”, bukan dalam arti spasial, juga geografis, tetapi ke dalam diri, baik secara primordial, tradisi, maupun religius, untuk menemukan yang paling hakiki di dalam diri.

Bagaimana Anda melihat hidup Anda 12 tahun terakhir ini?

Selama orang itu hidup, ada bagian tertentu yang masih mempertahankan kehidupannya, dan itu sangat berharga. Bahwa kita tak kuat menahan rasa sakit, itu manusiawi, tetapi apakah rasa sakit itu merupakan alasan terbaik menyudahi hidup? Enggak, karena sakit bisa dipelajari. Oleh sebab itu, saya menolak eutanasia. Lihat Stephen Hawking. Dia seperti sayur-mayur, tetapi otaknya hidup terus. Nilai fungsinya bagi masyarakat dan dunia, luar biasa.

Kalau saya masih diberi kesempatan, saya akan berbuat, mengoptimalisasi kemanusiaan saya, karena tugas manusia dari Sang Pencipta cuma itu. Dengan diberi hidup, berarti saya masih dipercaya menjalani tugas saya sebagai manusia. Ini mistik, ya..., bahwa saya diberi berkah begini, seminim apa pun, bisa dioptimalisasi untuk menjalankan suatu tugas kemanusiaan.

Buat saya, hidup sebagai manusia adalah bagaimana kita mengoptimumkan semua berkah. Kesalahan manusia adalah ketika tidak memaksimumkan dan menciptakan keseimbangan, tepatnya integrasi tiga kekuatan besar yang masing-masing punya adatnya sendiri, punya metabolisme sendiri, punya semestanya sendiri.

Tiga kekuatan besar itu adalah fisik, mental-spiritual, dan intelektual. Kita menggunakan yang ketiga saja. Padahal, itu yang paling lemah. Kita melatih yang mental-spiritual dengan berbagai ritual. Tapi, kita paling zalim terhadap tubuh. Makan-minum enggak jelas, merokok, gaya hidup macam-macam. Melatih fisik paling di fitness center, tanpa kesadaran tubuh.

Dalam tradisi kanuragan di peguron-peguron, yang diajarkan bukan hanya keseimbangan, melainkan integrasi; bagaimana menciptakan harmoni antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Begitu sampai integrasi, saya kira itu yang namanya Manunggaling Kawula-Gusti, kita menyatu dengan alam dan kekuatan di luar diri kita. Itu kekuatan misterius yang melahirkan mistisisme.

Integrasi


Menurut Radhar, intelektual adalah kesadaran atas sadar yang dipilih, terformat menjadi logic atau logos. Logos menjadi rasionalisme. Setiap kebudayaan punya logos-nya.

”Peradaban sekarang dikuasai bentuk logos yang rasionalisme materialistik dan menciptakan benturan luar biasa dengan sesuatu yang sangat primordial dalam diri kita.”

Dalam kaitan itulah, ia menaruh respek tinggi kepada RMP Sosrokartono, kakak RA Kartini. ”Dia pribadi yang luar biasa. Saya kira ia pelajar paling genial. Soekarno, Tan Malaka, kalah genius,” papar Radhar.

RMP Sosrokartono adalah orang Indonesia pertama yang lulus summa cum laude di Leiden. Ia seorang poliglot, menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa lokal, pernah menjadi wartawan beberapa surat kabar dan majalah di Eropa, sebelum menjadi perwakilan The New York Herald di Vienna.

Gajinya besar dan memungkinkan ia hidup mewah di Eropa, tetapi tak pernah diambil. Ia terlibat dalam upaya menghentikan Perang Dunia. Sebagai penerjemah tunggal sekutu, ia adalah penerjemah perundingan rahasia di kereta, antara dua pihak yang bertikai. Ia pernah menjadi kepala penerjemah untuk semua bahasa yang digunakan di Liga Bangsa-bangsa.

Setelah menyeruput kopinya, Radhar melanjutkan, ”Tapi, ia merasa gagal, lalu kembali dan melakoni hidup sebagai penyembuh dengan cara Kejawen. Dua profesor Eropa menemukan dia sedang menggosok keris dan batu cincin di dapur, di sebuah rumah di Bandung. Saya kira dia ingin memadukan dua kekuatan peradaban, Jawa dengan kekuatan peradaban intelektual Eropa.”

Radhar meyakini, kedua peradaban itu bisa dipadukan dengan mengintegrasikan kekuatan-kekuatan terbaik masing-masing peradaban, yakni peradaban maritim dan kontinental. Keduanya berbeda secara diametral, dan terus bertempur secara adab budaya dan ideologis. Peradaban maritim ditandai saling menjaga kepercayaan antarbandar, dan dewa di pantai adalah perempuan. Sementara peradaban kontinental, machoistik, ditandai dominasi.

”Istilah saya dulu, osmosa budaya, mendapatkan persenyawaan kimiawi di antara keduanya. Cuma kita belum punya jembatan. Ya, mula-mula jembatan, lalu integrasi. Saya rasa, tugas besar saya adalah menjadi jembatan....”

MENITI BUIH
Sikap memberontak kental mewarnai hidup Radhar. Ia sempat dikenal sebagai sastrawan pemberontak melalui puisi dan esai-esainya. Memang kemudian selalu ada koreksi dan refleksi. Akan tetapi, sikap teguh pada pendirian, sebelum ia menemukan kebenaran baru, tampaknya sudah tertanam dalam DNA-nya.

Menjelang usia 20 tahun, ia mengaku belum puas kalau secara intelektual belum mengalahkan para tokoh yang lebih tua, seperti WS Rendra, Teguh Karya, Riantiarno, Putu Wijaya, dan Arifin C Noor.

Di depan forum, Teguh Karya bahkan pernah mengatakan, ”Kita lihat 10 tahun lagi, yang namanya Reza itu jadi apa. Tidak jadi apa-apa....”

Sebagai wartawan, Radhar memakai nama Reza Morta Vileni. ”Dia marah karena saya kritik dia. Saya ketawa sambil bilang, ’Anda ini cuma tua di rambut saja!’”

Sikap itu, bisa dipastikan, muncul dari pengalaman otentiknya. Pada usia 13 tahun, anak kelima dari delapan bersaudara itu nekat minggat karena tidak tahan perlakuan ayahnya yang sangat keras. Dulu ia berdarah-darah, tetapi kini ia kenang dengan tawa berderai. ”Di pintu rumah, saya berteriak, ’Tidak ada demokrasi di negeri ini’. Ha-ha-ha... lucu ya.’”

Meski begitu, ada kebanggaan yang ia simpan tentang sang ayah. ”Ayah saya murid Ki Hadjar Dewantara dan murid ideologi Tan Malaka. Ia keras luar biasa. Pernah saya mampir ke kantornya, minta selembar kertas, malah tangan saya dipukul. ’Punya negara,’ katanya. Bapak saya tidak pernah korupsi. Selama 50 tahun hidup dengan istri yang terus ngomel karena gaji tak pernah cukup untuk hidup sebulan, dia cuek saja ngurusi kebun.”

Menggelandang

Sejak keluar dari rumah itu, ia hidup menggelandang dan menghidupi dirinya dengan menulis. Ia sudah menjadi wartawan lepas di harian Kompas pada usia belasan, dan bekerja di majalah remaja terkemuka pada zaman itu. SMA diselesaikan berpindah-pindah karena ia menentang kebenaran mutlak para guru.

Perjalanan hidupnya seperti meniti buih. Ia menyelesaikan seluruh mata kuliah di Jurusan Sosiologi, FISIP, UI hanya dalam 2,5 tahun, tetapi membiarkan skripsinya tertunda sampai tujuh tahun karena mencari biaya untuk kelompok teaternya. Ia tak peduli ijazah, bahkan menolak menyelesaikan studi doktornya di Perancis meski ditahan kuat-kuat oleh pejabat pemberi beasiswa.

Dulu, saat latihan teater, disiplin raganya luar biasa. Ia latihan sit up 100 kali sehari, melakukan pa hong, sejenis teknik pukulan dalam Bangau Putih, sebanyak 1.500-3.000 kali tiap pagi, bisa 15.000 kali dalam situasi khusus.

Ia mempraktikkan cara makan ala Zen, makan dari mangkuk kecil dari kayu. Tak makan kalau tak lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Saat muda ia mengikuti pola hidup Winston Churchill dan Ibnu Saud yang hanya tidur empat jam sehari. Ia tidak minum alkohol, tetapi merokok sejak remaja. Rokok dan kopi adalah menu hariannya.

Anaknya, Cahaya Prima, yang banyak mewarisi sikap dan kecerdasannya, lahir di Perancis tahun 1999. Gejala penyakitnya semakin terasa sejak ia belajar bahasa Perancis di Besançon, sekitar 450 kilometer timur Paris, tahun 1997. Namun, simtom sakit kepala hebat itu diabaikan.

Kerusakan ginjalnya terdeteksi setelah parah, empat tahun kemudian. Sempat berontak dan marah, tetapi lalu berdamai dengan seluruh kesakitan ketika ia mampu tidak memusatkan perhatian pada rasa sakit; dengan membaca tubuhnya. Suatu lampah hidup. Begitulah.... (MH/NMP)



Kompas, 16 September 2012


Labels: | edit post
1 Response
  1. Anonymous Says:

    Thanks, for the post


Post a Comment